“Children, jangan lupakan pesta kalian Sabtu malam besok!” kata guru seni kami tepat setelah bel istirahat bernynyi. “Ingat temanya—“
“Last Year Romantic Ball,” jawab teman-temanku serempak sambil berkemas.
Aku menutup tasku dan tidak terlalu memperhatikan Miss Carey. Ini kesembilan kalinya—atau mungkin lebih—Miss Carey mengingatkan kami tentang pesta kelulusan senior kami.
“Good!” Miss Carey menepuk tangan sekali. “Kalau begitu, tidak ada masalah. JHS Dream Musical!” kata Miss Carey mengucapkan salam khas kami.
“Best of the Best!” jawab murid-murid, termasuk aku. Dan kami semua meninggalkan kelas.
“Jadi?” Lissie membuka pembicaraan setelah meminum jus anggurnya. “Kau sudah menyiapkan semuanya? Gaun pesta, teman laki-laki—“
“Lissie,” kataku memotong. “Sudah kubilangkan? Aku tidak berniat ikut. Aku hanya menemanimu di pesta itu. Dan aku juga menjadi pemain musik cadangan,” jelasku sebelum menyantap potongan apel yang ke empat.
“Tunggu! Pemain cadangan?”
Aku mengangguk. Dan menggigit potongan apelku.
“Chesya! Kau tingkat 2. Para pemain seharusnya tingkat pertama. Kita sudah 14 tahun, dan berhak untuk ikut pesta dansa senior,”
“Lalu? Apa salahnya?” kataku tak acuh.
Lissie menatapku sambil mencari kata-kata yang tepat.
“Hei, girls! Ada yang mau ikut ke pesta bersamaku?” kata Grid yang muncul sok keren.
Aku dan Lissie saling tatap, sebelum melihat anak laki-laki yang tiba-tiba muncul tanpa diundang. Kami tersenyum sebelum mengatakan “tidak!” secara bersama dan masa bodoh.
“Ayolah! Kalian tidak akan menyesal! Percaya deh!” Grid kembali merayu.
Tepat saat kami mencari kata untuk mengusirnya, bel masuk berbunyi.
“Aku sudah diundang Zack. Dan aku menjawab ‘ya’!” kata Lissie menarik tasnya yang ada di atas meja.
Grid memandangku. “Kau pasti belum punya pasangan, kan?”
Aku tersenyum, “so?!” kataku dengan nada acuh dan tidak penting. Lalu menyusul Lissie yang selangkah telah meninggalkanku. “Dasar playboy. Tampang pas-pasan aja sok banget,” kataku yang telah menyamakan langkah dengan Lissie.
Lissie mengangguk dan menyunggingkan senyum mengejek pada Grid yang masih duduk di bangku kesayangan kami.
Keesokan harinya, Lissie yang duduk sebangku denganku menatapku dengan tajam.
“Apa sih?” kataku tak nyaman.
“Kau sudah siap semuanya?”
Aku mendesah, “Lissie, sudah berapa kali aku bilang? Aku hanya menemanimu.”
Lissie menatapku, “dengar! Nanti malam kakakkulah yang akan mengantarku menuju pesta dansa. Kakak laki-lakiku itu sudah menyewa limosin untuk mengantar kita. Kita bagaikan putri!” Lissie tampak bersemangat.
“Ok, lalu?”
Lissie kembali memandangku dengan tajam, “kau tau maksudnya, kan? Aku akan bergandengan dengan Zack setelah turun dari mobil. Aku mungkin akan bersama Zack selama pesta. Dan kau? Apa arti seorang putri tanpa pangeran?”
Aku menatapnya sejenak tanpa ekspresi. Lalu kembali menghadap ke depan.
“Chesya!” kata Lissie protes dengan sikapku.
“Tenang, Chesy akan berpasangan denganku. Jangan khawatir!” kata Cedric yang duduk tepat di belakangku.
Aku memutar pandanganku tepat ke arah belakang.
Lissie tersenyum girang. “Kalau begitu, aku tenang,”
“Liss—“ kataku protes. Namun, telapak tangan yang tegak tepat berada di depan mukaku dengan jarak lima jari, berhasil memotong kata-kataku.
“Aku jemput jam setengah tujuh,” Lissie melipat tangannya di depan. Pertanda bahwa ia tidak ingin mendengar alasan apapun dariku. Dan membuatku hanya terdiam dan menerima.
Jam pelajaran kedua, kami menuju gedung tempat diadakannya pesta. Miss Carey mengajak kami—yang saat itu seharusnya menerima pelajarannya—untuk ikut membantu dalam persiapan pesta nanti malam. Semua dekorasi sudah tertata rapi. Tapi, Miss Carey meminta kami untuk mendengarkan alunan musik yang dibawakan oleh para siswa tingkat pertama.
Beberapa koreografi dari senior kami juga ikut ambil andil dan membuat suatu aksi panggung yang hebat. Mereka semua tampak menikmati peran masing-masing. Beberapa anak dari tingkat 2 mencoba untuk berdansa dengan pasangan masing-masing. Termasuk Lissie dan Zack.
“Kau mau bergabung?” kata Cedric yang duduk di belakangku.
“Tidak, terima kasih,” jawabku acuh.
“Kau pasti punya alasan bagus untuk itu,” Cedric tampak penasaran.
Aku memutar posisi dudukku hingga dapat melihat wajahnya. “Dengar! Aku tidak tertarik dengan pesta dansa para senior tingkat 3 ini. Aku datang ke pesta ini untuk menemani Lissie, dan sebagai pemain cadangan untuk bermain musik. Selebihnya, kupikir tidak,” jelasku.
“Hanya itu?” tanya Cedric.
Aku mengangguk, “ya. Hanya itu,”
“Gerakanmu sepertinya menutupi sesuatu,” kata Cedric menyelidiki.
Aku menatapnya. Tapi, sebelum aku sempat menyangkalnya, Miss Carey memanggilku. “Maaf,” kataku dengan senyum yang kubuat dengan senang sambil meninggalkannya.
Miss Carey memintaku untuk bermain di depan para siswa tingkat pertama. Aku memegang alat musik biola. Miss Carey berharap, dengan mendengarkan aku bermain, para siswa tingkat pertama akan lebih semangat dalam bermain.
Kumainkan lagu favoritku. Perlahan, aku menikmati setiap gesekan senar yang kubuat. Nada-nada yang timbul, bersahutan dengan nada yang berikutnya. Dan setelah aku selesai memainkannya, semua yang ada di gedung bertepuk tangan untukku. Aku hanya terseyum malu sambil membungkuk, memberi hormat.
Malam harinya, tepat jam 18:30, mobil yang di naiki Lissie mendarat di depan rumahku. Aku segera berpamitan pada Mom, dan mengucapkan terima kasih pada kakakku. Tak lupa untuk menitipkan salam pada Dad saat beliau pulang nanti.
“Kau tampak cantik!” kata Lissie ketika aku masuk ke mobilnya.
“Thanks!” kataku. “Kau juga,”
Lissie tersenyum. “Kapan kau memyiapkannya?”
“Tadi, sesudah pulang sekolah. Kakakku mengajakku untuk membeli gaun dan beberapa aksesoris. Dan kebetulan, kami menemukan gaun kuning cerah yang sesuai dengan warna favoritku,” jelasku.
Lissie memperhatikanku, lalu kembali tersenyum.
Gaunku kuning cerah dengan tarikan dan pita di pinggang bagian depan kiri, dan ditambah jaket mini yang kukenakan. Kalung berbentuk bintang yang berwarna emas, dan tas mini yang kuning cerah. Tak lupa, hingga sepatu yang kukenakan. Semua tampak membungkusku dengan emas.
Sesampainya di gedung, kakak Lissie segera kembali untuk pulang, atau apapun. Zack menyambut Lissie ketika ia turun dari mobil. Lissie segera menggandeng pasangan dansanya itu.
“Kau tampak cantik, Chess,” kata Cedric. Ia mengenakan tuxedo hitam yang keren.
“Makasih,” kataku. Lalu menerima uluran tangannya. Kami berempat menuju pintu gedung dengan berpasangan. Sebelum masuk, kami akan dipotret sebagai pasangan dan akan muncul di album kenangan.
Cedric pergi untuk mencarikan es krim untukku. Sedangkan aku berdiri sambil menikmati kue coklat mini.
“Hei, Chess!” sapa Lissie yang terpisah dengan kami begitu masuk gedung.
“Hei!” jawabku tak kalah ceria.
“Mana Cedric?” tanyanya.
“Dia ambil es krim. Kau mau gabung? Dimana Zack?”
“Zack sedang ambil minuman. Dan, maaf saja, sepertinya kami tidak bisa bergabung,”
Aku mengagguk mengerti.
“Jadi, bagaimana menurutmu? Pesta ini hebat, kan? Sebentar lagi, kita akan berdansa,”
Aku mendesah, “lebih baik aku bermain biola dengan para pemusik dari pada berdansa,”
Lissie tertawa kecil menanggapinya. “Sudahlah! Semua pasti seru! Ikuti aja!” katanya menepuk bahuku. “Aku kembali ke Zack. Dan kau,” katanya menunjukku, “jangan kabur!”
Aku hanya mengerutkan kening. Namun Lissie hanya memunggungiku sambil menuju ke arah Zack. Aku kembali mendesah.
“Es krim coklat dengan coco chips?” kata Cedric sambil memberikan satu gelas es krim sesuai dengan yang ia sebutkan.
“Thank you,” jawabku sebelum menyantapnya bersama.
“Ada apa dengan Lissie? Aku lihat, tadi ia menemuimu,” tanya Cedric.
“Hanya memastikan, bahwa semua baik-baik saja,” jawabku ringan.
Cedric mengangguk sebelum melanjutkan santapan es krimnya.
Beberapa saat kemudian, lampu meredup. Disusul dengan alunan musik yang romantis. Tidak salah lagi. Ini adalah acara inti pesta ini. Waktunya berdansa.
Beberapa pasang telah turun ke lantai dansa dengan romantis. Mereka meliuk sesuai irama lagunya.
“Kau ingin bergabung?” tanya Cedric.
“Aku tidak tertarik,” jawabku tetap ringan.
“Kenapa?”
Aku menggeleng sambil tetap menyendok es krim coklat. “Aku hanya tidak tertarik. Itu saja,”
“Kau pasti punya alasan untuk tidak tertarik. Ayolah, katakan saja. Aku janji tidak akan mengatakannya pada siapapun,” Cedric memaksa.
Aku menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan. “Apa kamu pikir aku dapat melakukannya? Berdansa seperti mereka?”
“Tentu saja,” jawab Cedric cepat.
“Tidak,” kataku lagi.
“Tapi kamu—“
“Aku tidak bisa berdansa, Cedric,” potongku. “Itulah alasanku kenapa aku tidak ingin bergabung dengan mereka. Itulah alasanku kenapa aku tidak tertarik dengan pesta ini. Dan itulah alasanku kenapa aku tidak ingin menghadiri pesta ini,” jelasku dengan cepat. “Aku memang sering melihat orang berdansa di film. Aku melihat setiap liukan yang mereka buat. Tapi… Aku tidak bisa berdansa. Apa kamu puas mendengarnya, tuan Cedric Lace?” kataku kesal sambil menekan kata-kataku.
Cedric tetap tenang. Dan walau pun aku tidak dapat melihat matanya dengan jelas karena redup, tapi aku dapat merasakan tatapannya yang lembut tertuju padaku. Lalu ia tersenyum, “itu bodoh. Semua pasti bisa berdansa,”
“Ya. Semua, kecuali aku,” kataku tetap kesal sambil memalingkan wajah.
Cedric diam dan memandangku dengan lembut. Meskipun aku tidak menatapnya saat itu. Tapi ia tetap memandangku.
“Kau boleh mengajak yang lain. Banyak kok, perempuan di Junior High School Dream Musical ini yang mau kamu ajak dansa,”
“Tapi tidak sepertimu, kan?”
Aku mengangkat wajah ke arahnya.
“Memang banyak anak perempuan yang ada dan mungkin mau berdansa denganku. Tapi mereka berbeda-beda karakter. Terutama kamu. Tidak ada yang berkarakter sama denganmu. Begitu tenang, santai, dan tetap tegas. Terlihat saat kau memainkan biola,”
Mungkin sekarang mukaku merah. Entah, sepertinya aku harus bersyukur karena lampu redup. Kalau tidak, Cedric akan melihat mukaku yang seperti matahari tenggelam ini.
“Jadi,” kata Cedric membungkuk dan mengulurkan tangannya. “Chesya Sants. Bolehkan aku menerima tanganmu?”
“Cedric, sudah kubilang. Aku tidak bisa berdansa,” kataku.
“Kau pasti bisa. Orang yang dapat memainkan nada-nada indah dari biola tunggal, pasti dapat berdansa,” kata Cedric yang masih mengulurkan tangannya.
Aku masih ragu-ragu.
“Percayalah pada nalurimu,” katanya dengan tersenyum tampan. “Jadikan dirimu sebagai tokoh yang berdansa dalam film yang pernah kamu lihat,”
Aku menarik nafas, dan menerima uluran tangannya. Cedric menarikku ke lantai dansa. Kami saling berhadapan.
“Ikuti saja musiknya,” kata Cedric. Ia memegang tangan kananku dan satu lagi di pinggangku. Sedangkan tangan kiriku berada di bahunya. Tepat seperti yang pernah kulihat di film-film.
Perlahan, kami mulai bergerak sesuai dengan alunan. Semakin lama, aku dan Cedric dapat membaca gerakan masing-masing. Berputar, merentangkan tangan, lompat, dan kami sangat menikmatinya. Lissie dan Zack tampak sama menikmatinya. Mereka berdansa tidak jauh dari kami.
“Jadi, apa aku salah?” tanya Cedric saat posisi kami saling berhadapan.
Aku tersenyum. “Tidak. Sama sekali tidak.”
Cedric tersenyum. Dan dengan jarak seperti itu, aku dapat melihat wajah senyumnya yang semakin tampan. Tak heran jika banyak anak perempuan yang cari muka selama ini di depannya. Dan, ia lebih memilihku. Memilih diriku yang kadang cuek dengannya.
“Cedric,” panggilku lirih.
“Ya?”
“Thank you,” kataku sebelum aku berputar.
Makin lama, musik bermain dengan ceria. Bersama pasangan yang lain, kami berdansa bersama dan membuat pesta itu menjadi pesta yang benar-benar berkesan.
Terutama untukku♥